Hampir setiap hari teriakan mbah penjual bubur selalu terdengar. Penjual yang sudah tidak muda membawa dunak (tempat dari bambu seperti yang digendong mbok jamu) berisi panci bubur dan tiwul. Saya yang semula kasihan melihat perjuangannya mencari rupiah di perantauan, berubah menjadi kagum. Mbah yang sudah berumur masih kuat berjalan kaki membawa dagangan tak lelah mencari rezeki. Menjual aneka jajanan tradisonal, terutama tiwul di perkotaan.
Barang dagangannya hanya itu-itu saja, makanan tradisional yang khas dari Jawa. Mbah menjual bubur sumsum, bubur candil, bubur sagu, dan tiwul. Yang saya suka bubur sumsum dan tiwulnya, apalagi kalau masih hangat, rasanya enak sekali.
Saya memang orang yang suka dengan makanan tradisional, apapun itu. Dulu sewaktu masih SD, saya merasa beruntung karena masih bisa merasakan serabi, gethuk mawur, gendar, cetot, putu mayang, oyek, dll. Hampir mirip dengan mbah yang sekarang, mbah yang dulu jualannya lebih komplit. Mereka sama-sama berjalan kaki dari satu gang ke gang lain menawarkan jajanan pasar. Ah, lidah ingin sekali bernostalgia dengan makanan ndeso tersebut. Biarpun ndeso, tapi enak dan kaya gizi, lho. Saya nggak malu dengan makanan tradisional. Kalau makanan tersebut masuk restoran atau hotel, harganya selangit lho, jauh banget dengan harga bahan bakunya.
Untungnya di tempat tinggal ini, saya masih bisa merasakan jajanan tradisional. Meski jumlahnya tidak banyak, tapi cukup mengobati rasa pengin terhadap makanan tradisional. Seperti siang ini, saya makan tiwul. Dengan harga Rp.3000,- saja saya sudah mendapat tiwul yang enak dengan porsi yang cukup. Murah kan? Kata penjualnya, mungkin ini tiwul terakhir karena tepung tiwulnya sudah habis. Mbah penjual biasa membawa tepung tiwul dari desanya karena di sini tidak ada gaplek. Ya, beberapa hari ke depan, mbah hanya berjualan bubur tanpa tiwul. Kalau nanti pulang kampung, biasanya membawa tiwul lagi.
Tiwul Murah Meriah |
Tiwul setahu saya merupakan makanan pengganti beras di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Saya pernah berkunjung ke sana dan memang daerahnya berupa perbukitan tanah kapur. Warga di sana sudah biasa makan tiwul dengan lauk, tiwul menjadi pengganti nasi di daerah Gunung Kidul. Tiwul terbuat dari gaplek, yaitu singkong yang dikupas dan dikeringkan. Persediaan gaplek warga Gunung Kidul sangat banyak. Saking banyaknya, biasanya gaplek dijadikan oleh-oleh, lho. Gaplek bisa diolah menjadi tiwul atau gatot. Lumayan banget kalau mendapat oleh-oleh tersebut karena di kota besar jarang atau bahkan tidak ada gaplek, hihihi.
Sebagai makanan pokok, kalori yang ada pada tiwul lebih rendah dibanding nasi. Nasi tiwul juga baik untuk kesehatan apalagi bagi penderita diabetes mengingat kandungan gulanya juga rendah. Dulu tiwul dikenal sebagai makanan orang miskin karena sebagian penduduk Indonesia makan tiwul saat zaman penjajahan.
Kalau saya pribadi jarang sekali makan tiwul dengan lauk. Seringnya saya makan sebagai kudapan yang dicampur dengan kelapa dan gula merah. Perpaduan rasa gurih dari tiwul dan kelapa serta manis dari gula jawa, hhhhmm nikmat.
Saat ini, masyarakat perkotaan bisa menikmati tiwul yang dikemas instan. Cara memasaknya tinggal mengikuti petunjuk yang ada di kemasan, maka tiwul siap disantap dalam sekejap. Beberapa tahun lalu saya pernah membeli tiwul instan. Cara memasaknya kalau nggak salah, direndam dulu beberapa menit lalu dikukus. Adanya inovasi tiwul instan sangat memudahkan orang untuk mengonsumsinya bahkan bisa mengenalkan makanan tersebut secara luas ke masyarakat.
Waah. Aku jadi bersyukur tinggal di Purwokerto, walaupun kota kecil, tapi setiap sore banyak ibu-ibu jajan yang lewat depan rumah. Di sini semuanya disebut ibu jajan. Ya begitu, jual aneka makanan tradisional dari lupis, serabi, putu mayang, sampai yang paling fenomenal: mendoan. hihihihi ^_^
ReplyDeleteEnaknya ketemu jajanan komplit :)
DeleteAku suka dibawain suami lho klo suami lg ke manggala, di manggala ada yg jualan tiwul :)
ReplyDeleteSeneng ya klo dibawain suami :)
DeleteSaya juga kangen makan bubur sama lupis dan ketan. Euy. Dulu ada mbob madura yang jualan dan kami panggil nya bubur madura
ReplyDeleteEnak ya Mas maem jajanan tradisional.
DeleteHehehe bubur madura :)
Bersyukur tiap pagi ada yg ngider gatot tiwul sawut, hehehehehe.. Salam kenal ^_^
ReplyDeleteWaaa ada gatot dan sawut juga :)
DeleteSalam kenal juga ya.
saya belum pernah ngerasain tiwul :D
ReplyDeleteNyoba, Mak Chi. Enak lho :)
Deletekangen ngerasaain tiwul deh, dah lama banget lagi waktu masih sekolah kalau berlibur ke rumah nenek
ReplyDeleteJajanan pasar ngangenin ya Mba :)
DeleteSego tiwul mengingatkan indahnya masa kecil di kampung bersama keluarga... Mesti di kota ada tetapi sangat sulit ditemukan dan rasanya tidak se-natural di desa hehe... minta dikirim y mbak satu bakul saja tiwul kotanya hehe
ReplyDeleteEh iya bener bgt, Mas.
DeleteHahaha si mbah kayaknya ga bw tiwul.
kalo di desa makanan ini mudah didapat mak, biasanya kalo aku pulang kampung harus makan ini hehehe
ReplyDeleteIya, di desa msh bisa dijumpai Mba.
Deleteaku suka sekali tiwul sama gatot Mbak...cuma kalo tiwul kadang dikasih pewarna ijo, enakan yg alami tanpa pewarna
ReplyDeleteBaru tahu sy mba klo ada tiwul hijau :)
Deletedisini ada yang jual juga mbak tai gak tiap hari
ReplyDeleteSama, Mba Lid.
Deletesaya juga sering makan mba... kalo lgi di kampung saya di Indramayu. suka ada yang jualjuga jadi pengen lagi hehhehe
ReplyDeletesalam kenalmba...
Hehehe kampung halaman memang enak dan ngangenin ya.
DeleteTiwul instant rasanya sama dgn yg tradisional nggak mbak?
ReplyDeleteEnak yg tradisional.
DeleteYg instan rasanya malah mirip oyek.
Di Jogja masih ada tiwuuuul :D
ReplyDeleteIyaaa :)
Deletedi malang udah gak ada sist :( sedih deh
ReplyDeleteMbak mau tanya itu si mbah penjual tiwulnya apakah masih ada, kebetulan saya sedang cari untuk isi jajanan tradisional di warung saya, terimakasih
ReplyDelete