Tak terasa saya dan suami sudah sebulan berada di Jepang, tepatnya di Yokohama. Kami tinggal di apartemen di daerah Kannai. Apartemen yang cukup strategis bagi kami karena dekat dengan taman, supermarket, dan hanya lima menit ke Stasiun Kannai. Bersyukur sekali hewan peliharaan tidak diperbolehkan tinggal di apartemen jadi saya aman dari gangguan hewan terutama anjing sebab orang Jepang suka sekali memelihara anjing. Lebih asyiknya lagi, fasilitas internetnya yang 24 jam membuat saya bebas berselancar di sini.
Suami saya di sini dinas sekitar 2-3 bulan (mudah-mudahan diperpanjang sampai 'BEP' terlampaui hehe) otomatis semua fasilitas ditanggung kantor cuma statusnya single. Sebagai istri dan makmum yang baik dan tidak mungkin juga suami meninggalkan saya sendirian di rumah berbulan-bulan, maka beliau berencana akan mengajak saya. Hal ini kemudian dilaporkan ke pak dept head dan manajer. Kata suami, para bos tersebut kaget mengetahui hal ini tetapi setelah beliau bilang 'Saya membawa istri dengan biaya sendiri' (hal ini memang sudah kami rundingkan sebelumnya) barulah mereka setuju. Singkat cerita, saya membuat paspor sendiri tetapi visa dan tiket ditanggung kantor dulu baru kemudian potong gaji. Hhhhmm, mengetahui tiket PP saya yang agak menguras kantong membuat suami saya terkejut karena demi menyelamatkan keuangan 'negara', terpaksa gaji dipotong selama 3 bulan :'( .
Mengapa bisa semahal itu? Karena kantor menyerahkan pemesanan tiket dan pengurusan visa melalui pihak ketiga dan tiket pesawatnya direct atau tidak transit. Selain itu, tiket yang dipesan tanggal kembalinya fleksibel, bisa diatur menyesuaikan selesainya tugas di sini atau diusir dari sini hehe. Sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka akan menambah biaya dari tiket tersebut. Semula malah akan dipesankan JAL tetapi suami langsung menolak karena JAL lebih mahal dibanding GA (kalau tanpa istri sih tidak apa-apa karena ditanggung kantor begitu gerutu suami saya). Akhirnya kami berangkat naik GA sekitar jam 1 malam dan sampai di Jepang jam 9 pagi.
Kesan mendalam saya rasakan begitu sampai di Narita. Begitu bersih, disiplin, canggih, dan wifinya lancar jaya :). Pada waktu pemeriksaan paspor oleh pihak bea cukai Jepang, saya berdiri di samping suami (karena waktu di Soetta hal ini tidak masalah). Ternyata saya langsung kena tegur karena melanggar batas (saya tidak tahu kalau ada batas antri). Jleb! disiplinnya, begitu kata hati saya.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan dan koper sudah di tangan, maka kami menuju ke penjualan tiket bis tujuan Yokohama dengan kode YCAT. Harga per tiket sekitar 3.500 yen atau setara 350ribu rupiah. Begitu keluar bandara, saya merasakan udara dingin sekali meski cuaca terang. Kami menunggu bis di halte 3, koper dan tas yang masuk bagasi semua diberi nomer dan tepat sesuai jadwal bis tersebut sampai di halte. Saya kagum dengan bisnya yakni berpintu otomatis, kondisinya bagus, sopirnya rapi meski sudah tua dan cara mengendarainya termasuk dalam kategori safety riding. Oia di kursi penumpang ada safety beltnya, dan sayapun memakainya. Saya menikmati perjalanan dari Narita ke Terminal Yokohama. Perjalanan tersebut menempuh waktu satu jam lebih. Terlihat sisa salju di pinggir jalan dan berbagai pohon yang meranggas. Sepanjang jalan tak terlihat sampah, bersih sekali. Ketika mau turun, saya lupa kalau masih memakai sabuk pengaman (habis di Indonesia jarang yang seperti ini sih) jadi jelas saya tidak bisa jalan. Saya pun mempersilakan perempuan Jepang yang berdiri di belakang saya untuk turun duluan, tetapi dia tidak mau dan menunggu. Lagi-lagi saya dibuat kagum, baik sekali orang Jepang.
Begitu sampai di Terminal Yokohama, suami saya sms ke orang yang menjemput kami yakni owner apartemen, Uchiyama-san. Kami menunggu sekitar 5 menit. Ternyata Uchiyama-san berumur sekitar 45 tahunan, tinggi, ramah, baik, rapi (memakai jas). Pertama kali bertemu, dikira kami orang Malaysia. Beliau menawarkan ke toilet dulu atau tidak karena perjalanan ke apartemen sekitar 15 menit. Setelah kami bilang no, meluncurlah kami ke tempat parkir. Ya Allooooh, saya sampai lari-lari mengikuti jalannya Pak Uchiyama, cepat sekali. Ternyata begini ya cara jalan orang Jepang, cepat seperti ada yang mereka kejar di sana. Di dalam mobil kami bertiga hanya mengobrol biasa saja.
Sekali lagi, saya menikmati perjalanan menuju apartemen. Banyak gedung menjulang tinggi, tertata rapi, bersih, orang-orang berjalan kaki memakai baju hangat, dan saya baru tahu kalau Yokohama ternyata mempunyai pelabuhan. Setelah kurang lebih 15 menit, sampailah di apartemen. Kami diberitahu cara masuk apartemen, yaitu memakai kartu (seperti kartu hotel) yang mana bila hilang akan dikenai biaya sekitar 5.000 yen. Jadi jika hilang, boro-boro bisa masuk ruangan, masuk ke lobby saja tidak bisa. Beliau menunjukkan ruangan kami dan menjelaskan segala fasilitasnya satu per satu secara detail bahkan kami diberi check list barang-barang yang ada jadi jika nanti kami pulang barang tersebut hilang atau rusak, maka kami WAJIB menggantinya (ckcckk sebegitu disiplinnya). Tak lupa, kami juga diberi buku 'Information Book' yang umumnya berisi tata cara menggunakan piranti di sini karena sebagian besar piranti tersebut memakai tulisan Jepang bahkan acara televisinya pun lokal bukan yang internasional.
Ada satu yang menarik minat saya di buku tersebut yakni mengenai pengaturan sampah. Bagian tersebut mencolok karena kertasnya berwarna sendiri dan eye catching. Ternyata benar, Jepang sangat peduli akan sampah. Sampah di sini dipisah-pisah berdasarkan jenisnya yaitu sampah yang mudah terbakar, sampah yang tidak mudah terbakar, sampah botol dan kaleng, sampah kertas, dan sampah berat. Setiap jenis mempunyai aturan sendiri-sendiri dalam pengambilannya.
Untungnya, di apartemen ini kami bisa membuang sampah apa saja setiap hari Senin-Sabtu dan tidak boleh lebih dari jam 11 pagi. Hari Minggu kami dilarang membuang sampah. Jadi apartemen mempunyai tempat sampah sendiri dimana ada tiga bagian terpisah yakni bagian yang mudah terbakar, plastik, dan botol/kaleng. Maka di ruangan saya saat ini, ada empat plastik sampah yakni untuk sampah yang mudah terbakar, plastik, kertas, dan botol/kaleng. Sampai saat ini, saya hanya membuang sampah untuk sampah rumah tangga dan plastik saja sementara sampah botol/kaleng dan sampah kertas masih kami kumpulkan. Jadi untuk masalah sampah pun, warga Jepang turut andil besar karena mereka terlibat dalam pemilahan sampah. Hal ini merupakan bentuk kepedulian Jepang terhadap lingkungan.
Sampai di sini dulu cerita saya mengenai negri matahari terbit. Negri yang sangat displin, sopan, berteknologi tinggi, dan sangat mencintai budayanya. Saya yakin Indonesia kelak bisa seperti Jepang karena masyarakatnya sudah banyak yang pintar dan tahu mana yang benar dan yang salah. Apakah mimpi saya terlalu tinggi?
Wah, enaknya bisa lama menghabiskan waktu disini. Betah ya Mak....
ReplyDelete